Apakah dibenarkan mengalihkan fungsikan lahan produktif tani menjadi lahan Indutri ?

Rencana pembangunan kawasan industri yang membabat sekitar kurang lebih 100 hektare  lahan produktif, yaitu  pertanian dan perkebunan, saat ini  bukan sebuah rencana atau kabar burung lagi , Tapi masyarakat desa Gembor dan Gunung sembung memang sedang dihadapkan dengan pembangunan tersebut. Walaupun  pembebasan lahan telah usai ,dan seluruh lahan tersebut sudah dimiliki sah oleh pihak pembangun dan pengembang yaitu PT. Taifa Development .  dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan ; Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.   seharusnya dijadikan acuan dasar pemkab Subang ataupun dinas terkait  dalam mengatur perizinan , khususnya pembangunan industri yang memang jelas bukan kepentingan masyarakat, melainkan  kepentingan investor. Selain daripada itu dalam UU No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan .dan sejumlah aturan turunannya yg telah di terbitkan pada 2012 lalu.
Penyelewang-penyelewang tersebut tidak hanya dari pihak PT itu sendiri , Tapi juga dilakukan oleh elit-elit desa yang berhubungan langsung dengan pihak  PT .  untuk mempermudah jalannya agar tidak terendus bahwa lahan itu lahan produktif yang dilindungi oleh hukum, pihak oknum elit desa dengan sengaja membakar lahan-lahan tersebut. Agar lahan tersebut tidak bisa dikatakan lahan produktif.



Pada hari jum’at tanggal 11 oktober 2019, Pihak PT.taifa Mengadakan acara sosialisasi yang bertempat di aula desa Gembor. Yang dihadiri oleh Camat, Danramil, Polsek dan seluruh aparatur desa. Acara tesebut di mulai sekitar 14.00 WIB yang di buka oleh salah satu elit desa yang masuk kedalam pusaran perencanaan pembangunan.  Di dalam acara tersebut memang warga di beri waktu untuk menyampaikan aspirasi , namun sangat disayangkan  aspirasi masyarakat di batasi  dan hasil aspirasi tersebut pun masih bias , karena tidak di perkuat dengan perjanjian tertulis . lebih parahnya lagi yang pada awalnya acara tersebut hanya sekedar sosialisasi , namun oknum elit desa malah menjadikan acara tersebut sebagai fasilitas pihak PT untuk mendapatkan persetujuan pembangunan dari masyarakat yang hadir, dengan dalih pengganti uang transport, sehingga masyarakat dituntut secara tidak langsung untuk menandatangani surat persetujuan tersebut . padahal cara tersebut malah merugikan masyarakat dan sebaliknya menguntungkan bagi pihak PT dalam mendapatkan persetujuan, tanpa disetujuinya terlebih dahulu  tuntutan masyarakat secara resmi. bahkan pemerintah desa pun tidak menyadari bahwa langkah tersebut  akan merugikan masyarakatnya.
Saya sendiri sebagai salah satu pemuda desa Gembor merasa prihatin, ketika masyarakat saya sendiri dengan mudahnya memberikan persetujuan tersebut tanpa mengetahui konsep pembangunan dan AMDAL ( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dasar mengenai diadakannya AMDAL adalah PP No.27 Tahun 1999 dan PP No.51 Tahun 1993 bahwa pembangunan berkelanjutan adalah kegiatan yang menimbulkan dampak dan perlu dianalisa sejak awal perencanaan. baik pengendalian dampak negatif maupun pengembangan dampak positif , agar tidak merugikan masyarakat, dalam hal lingkungan hidup, sosial budaya dan ekonomi. 

Komentar