Cerpen : "Kisah Untuk Rere"

Oleh : Nurul Vitrya Zuliyanti

Lembut angin sore menerbangkan sedikit anak rambut yang nyaris lepek karena seharian bekerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa. Perempuan bersnelli itu berjalan dengan satu tangan memegangi sebuah buku. Lembar-lembar yang ia temukan di sebuah kamar usang saudara perempuannya, lalu tanpa meminta izin diterbitkannya secara self publishing.

Karena buku itu sebelumnya tak diberi judul oleh sang tuan, maka dengan inisiatifnya sendiri perempuan bernama asli Dr. Rara Aditya Sp. KJ itu memberinya judul ‘KISAH UNTUK RERE.’Dokter Rara tersenyum kala melihat punggung seorang perempuan berpakaian pasien RSJ itu tengah terduduk dipinggir taman di atas kursi roda yang setia menemani harinya selama 10 tahun terakhir.

Perempuan itu berjalan menghampiri objek pandangnya, lalu berjongkok tepat di depan kursi roda seseorang yang sekilas memiliki wajah sangat mirip dengannya, bahkan saking miripnya Dokter Rara seperti bercermin.

“Sudah sore. Masuk, yuk.”

Seperti biasanya, tidak ada jawaban.
Dokter Rara menghela napas ringan, lalu kepalanya menoleh pada sang surya yang hendak tenggelam di ufuk barat. Sungguh pemandangan di pinggir taman ini memang sangat indah. Seolah pendirinya sengaja membangun RSJ di atas tebing dekat pantai berombak tenang.

Tentu tebing diberi pembatas untuk menjaga keamanan para pasien yang biasanya berkeliaran di sana. Barangkali tujuan pembangunan ini disertai dengan tujuan meditasi atau healing untuk para pasien agar merasa tenang.

“Aku punya cerita,” kata Dokter Rara tidak mengindahkan kalimat sebelumnya. “Aku udah bawa buku favorit yang ditulis oleh salah satu penulis yang paling aku gemari.”
Perempuan itu tersenyum getir sembari menatap wajah tanpa ekspresi di depannya. “Mungkin penulisnya sudah lupa kalau dia pernah menulis cerita yang benar-benar hebat sampai aku menghabiskan banyak tisu meskipun sudah berkali-kali membacanya.”
Tidak ada tanggapan.

“Kamu mau dengar? Judulnya Kisah Untuk Rere.”

Raut wajah itu sedikit menegang ketika ia mendengar sebuah nama yang tak asing ditelinga. Nama yang sudah lama mati, sejak kehidupannya berakhir di tempat ini. Lamat-lamat tenggorokannya menelan ludah. Ia merasa sore itu oksigen menyempit, terlebih setelah mendengar pembukaan cerita.

“Suatu hari, di pusat kota yang padat, di sebuah perumahan yang megah di dalamnya berjejer rumah-rumah petinggi rumah sakit yang namanya sudah tersohor dalam dunia Kedokteran. Terlahir dua orang anak perempuan kembar yang memiliki wajah identik dan diperlakukan sama.
Sama? Adalah awal ketidak-adilan yang sebenar-benarnya ...”

Kepalanya tiba-tiba rumit persis ada benang kusut yang bergulung di ubun-ubun kala ingatan-ingatan pelik itu singgah. Ia ingin menolak, tetapi tak sanggup menghindar. Ia tidak ingin dengar, namun mulutnya tetap bungkam.

Maka, tanpa persetujuan pasti sanubari, perempuan berusia kisaran 27 tahun itu terbelenggu di atas kursi roda. Mendengarkan cerita bersama ingatan pelik yang berputar di kepala. Nun 10 tahun lalu, saat seorang gadis berseragam putih abu dengan rambut dikuncir satu berlari masuk ke dalam rumah sangat riang seolah baru saja mendapatkan undian lotre di sore itu. Ia ingin menunjukkan raportnya yang mendapatkan nilai sempurna dalam bahasa.

“Wah anak mama emang hebat banget. Calon penerus kita nih.” Terdengar suara lembut nan tegas dari dalam membuat langkahnya terhenti di ambang pintu ruang keluarga.
“Enak aja, ini anak papa juga, ya.” Gelak tawa itu perlahan memupuskan senyum lebarnya. Ia mulai bersembunyi terdiam di balik sekat tembok.

“Tapi Ma, Pa, nilai bahasaku nggak bagus-bagus amat. Gak kayak Rere.”
“Ah, gampang itu, yang penting semua nilai sains kamu bagus. Bisa masuk kedokteran.”
Gadis berseragam SMA dengan rambut panjang digerai bebas itu tersenyum riang sambil menganggukkan kepala. Rambutnya dielus sayang oleh kedua orang tuanya membuat gadis yang berdiri kaku di balik tembok meremat ujung rok tanpa sadar.
Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki dan menyembunyikan raport yang semula dibanggakannya itu ke samping tubuh. Berharap keluarganya tidak menyadari sama sekali.

“Eh, Rere udah pulang.”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh seraya menyengir kuda dengan satu tangan menggaruk tengkuk kepala canggung. 
“Eh iya, hehe.”
“Gimana raportnya? Jangan bilang di remedial lagi?” tanya runtun sang ibu. Seharusnya jika ia penasaran, kenapa tidak dirinya saja yang mengambil langsung?

Atau mungkin sang ibu tidak sama sekali penasaran. Ah, bisa jadi juga ia trauma tiap kali mengambil raport anaknya yang lain dari sekolah berbeda pasti mendapat laporan kalau anaknya mendapat nilai merah di sains.

Tidak, Rere tidak sedih kalau ibunya lebih memilih mengambil raport saudara perempuannya daripada miliknya. Toh, Rere masih bisa mengambilnya sendiri, atau jika tidak ia suka menitipkannya pada orang tua teman-temannya yang lain.

Jangan tanyakan kenapa tidak papa saja yang mengambil? Tentu pria itu sibuk, bahkan untuk menginjakkan kaki di rumah ia sangat jarang saking mencintai pasien-pasiennya di rumah sakit.

“Nggak dong. Rere gak remedial,” katanya menjawab dengan sumringah.
“Oh ya? Coba sini liat?”
Agak ragu atau bahkan takut-takut saat tangan kanannya mengulurkan raport pada sang ibu. Perlahan tapi pasti perempuan itu membuka raportnya, dan tahu hal pertama apa yang ia lihat?

“Kok nilai matematika, sainsnya Cuma dapet B? Fisika apalagi Cuma dapet B-. Rere sebenernya belajar bener-bener nggak sih? Padahal Rara sama Rere itu dimasukin ke bimbel yang sama, bahkan papa dan mama turutin maunya Rere yang mau pisah SMA sama Rara, tapi bukannya makin bagus, tetep aja nilainya jelek.”

Gadis itu meneguk ludah. Dadanya serasa ditikam saat beruntun telinga mendengar pernyataan menyakitkan itu. Apa katanya? Rere tidak belajar sungguh-sungguh? Bahkan orang tuanya tidak tahu kalau semalaman penuh ia belajar mati-matian sampai kekurangan tidur maupun makan agar bisa mengejar angka saudaranya. Ia sudah berusaha sekeras mungkin sampai rasanya kepala hendak pecah atau dibenturkan saja ke tembok saking sakitnya berpikir. Lalu dengan mudahnya kata-kata itu menampar?

“Iya, Rere akan berusaha lebih baik lagi.”
Tidak ada sanggahan lain, bahkan untuk sekadar marah atau menangis kepada kedua orang tuanya bahwa ini bukanlah hidup yang ia inginkan rasanya sangat sulit. Rere tidak pernah diberikan kesempatan untuk membela diri. Sebab dari kecil keduanya sudah diajarkan untuk mematuhi aturan sebagai keputusan mutlak.

Rere yang tidak tahan, lantas menyeret kakinya menuju kamar sambil menenteng tak minat raportnya. Langkahnya diikuti oleh sang saudara perempuan. 
“Rere,” panggilnya membuat sang pemilik nama menoleh. “Jangan sedih ya, nanti kita bisa belajar bareng-bareng. Pokoknya kalo ada yang gak ngerti, kamu bisa tanya aku begitupun sebalik ....”

Belum selesai ia berbicara, tiba-tiba Rere memotong dengan sinis. “Berhenti cari muka.” Rara tersentak kaget.
“Gue bukan bokap ataupun nyokap yang bakalan muji-muji semua yang lo punya. Justru dengan ngeliat kelakuan lo, gue makin muak!” 

Rara meneguk salivanya yang pahit bagai empedu. Ia hanya menawarkan bantuan, apakah itu salah? Lagi pula, Rara menawarkan bantuan itu semata-mata karena ia ingin juga belajar pada Rere di mata pelajaran bahasa.

“Re.”

“Lo seneng kan? Gue dimarahin bonyok karena nilai lo selalu lebih bagus dari gue. Lo seneng kan selalu jadi anak kesayangan? Yaudah, peranin aja peran lo, tapi gak usah sok baik sama gue.”

Rara merasa dadanya terbakar. Ia marah saat bilang Rara itu anak kesayangan orang tuanya, “kalo lo gak tau apa-apa, mending diem. Terus emang kenapa kalo gue selalu lebih unggul dari lo? Salah gue kalo bonyok lebih sayang sama gue daripada lo?”

Rere bungkam. Ia terkejut saat Rara mulai berani menimpalinya, karena biasanya anak itu akan diam saja dan menerima semua kekesalan Rere. “Denger ya, Re? Gue dapet nilai bagus karena kerja keras gue? Kalo nilai lo lebih jelek, itu bukan salah gue.”

Rere tidak mengerti bagaimana perjuangan Rara selalu mendapatkan nilai bagus, bahkan sampai kehilangan segala hal termasuk pertemanan. Gadis itu terlalu sibuk mengejar nilai agar selalu dipandang baik kedua orang tuanya.

Rara juga tidak tahu bagaimana Rere berusaha berlari mengejar nilai-nilainya sampai harus mengorbankan kegemarannya di bidang bahasa. Gadis itu terlalu memaksakan diri untuk melakukan banyak hal disatu waktu agar bisa menyenangkan semua orang, meskipun berakhir gagal.

“Kalo lo gak suka belajar sains, gak usah dipelajari. Cukup jadi diri lo sendiri, berhenti memaksakan. Karena kalo gila, lo bakal sendirian. Orang-orang yang berusaha lo bahagiain itu Cuma bakal berduka cita, abis itu lo bakal dilupain.”

Sungguh kata-kata Rara mirip tamparan. Rere terdiam ditempatnya sambil memikirkan sesuatu, kalau sebagian nuraninya membenarkan kalimat itu.
“Apa bedanya sih sama lo, Ra?”
“Beda. Gue suka sains, dan gue juga suka dipuji orang.”

Setelah merenunginya beberapa kurun waktu, akhirnya Rere Aditya berhasil mengumpulkan keberaniannya sebulan sebelum Ujian Nasional. Ia sangat bersemangat untuk mengutarakan keinginannya pada kedua orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di bidang Sastra Indonesia.

“Rere mau masuk UGM atau UI? Oh atau mau sama Rara di UI?”
“UI, Ma,” gumam Rere.
“Nah gitu dong. Nanti coba mama konsultasiin ya sama Rektor sana, eh dekan 
FK juga sebenernya temen mama loh. Pokoknya nanti kamu terima beres aja, gapapa kalo gak masuk jalur SNMPTN juga.”
Rere tersenyum sangat tulus. “Rere mau masuk UI, tapi bukan FK. Sastra Indonesia.”

Perlahan senyuman yang semula tercetak lebar dari sudut bibir mamanya memudar, setelah mendengar pernyataan itu. “A-apa? Kamu bilang apa?”
Gadis itu menghela napas sabar. “Rere udah mutusin, Ma. Rere mau masuk Sastra Indonesia di UI.”

“Sastra Indonesia? Mau jadi apa kamu, Re? Seumur-umur di keturunan keluarga kita gak ada yang gak jadi dokter. Jangan ngada-ngada ya kamu, pokoknya kamu harus masuk FK, abis itu kamu bisa bebas milih mau spesialis apa!” 

Mutlak! Mama pergi dengan kepala terbakar setelah mendengar keinginan anaknya. Rere merasakan tubuhnya melemas, namun tiba-tiba sebuah tangan terulur untuk mengelus bahunya sambil mengatakan.

“Sabar ya, Re.”

Mendengarnya, Rere tersulut emosi. “Sabar? Harus sampe kapan? Sampe gue basah abis itu tenggelem di lautan? Ra, lo pernah bilang kan, kalo kucing gak bisa berenang di lautan atau ikan gak bisa lari di daratan?”
Rara menatap prihatin saudaranya. Tidak ada yang bisa ia lakukan, karena keputuan kedua orang tuanya terlalu mustahil digugat.

“Gue bisa mati kalo disuruh berenang, Ra. Gue bukan ikan, gue gak mau tenggelem.”
Malam itu untuk pertama kalinya seorang Rere Aditya yang terkenal sebagai gadis periang di sekolah juga kuat dalam menghadapi masalah, menangis dalam pelukan saudara perempuannya.
Malam itu juga, ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Membawa koper, lalu pergi lewat jendela. Naas, Rere tertampar ingatan saat ia terpental jatuh di aspal, karena tertabrak mobil di malam pelariannya.

Seperti yang dikatakan Rara, kalau gila ia akan sendirian. Buktinya, bertahun-tahun setelah dinyatakan lumpuh kaki, Rere depresi dan berakhir di Rumah Sakit Jiwa sebagai pasien. Beruntung, bertahun-tahun itu juga Rara mati-matian belajar untuk mendapatkan gelar Spesialis Kejiwaan agar bisa mengobati saudaranya, atau minimal mendampinginya.
Orang tua? Mereka hanya sesekali berkunjung. 

Mamanya menyesal karena sudah memaksakan kehendak, pun Papa yang merasa tak memiliki peran akan kesehatan mental kedua anaknya. Ia terlalu memedulikan kesehatan orang lain sampai melupakan kesehatan keluarganya sendiri.
“Kalau sudah tidak punya dua kaki untuk berlari, kamu masih punya dua tangan untuk menulis. Karena sampai kapanpun, kamu akan selalu menjadi penulis favoritku.”








Komentar